Pertama Kali Mendaki Gunung Semeru


Pendakian adalah salah satu kegiatan ekstrim yang tidak semua orang ingin lakukan kecuali satu alasan: ingin eksis di sosial media. Sejak adanya sosial media, semua orang sepertinya ingin melakukan kegiatan-kegiatan luar ruang ekstrim termasuk pendakian ke puncak gunung.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan lingkar gunung api terbesar di dunia tentu saja menjadi surga bagi para pendaki, utamanya pendaki pemula karena ada banyak gunung yang bisa dijadikan pilihan untuk sasaran pendakian. Mulai dari yang paling mudah, paling cepat paling sulit hingga yang paling panjang jalurnya. Semua tersedia dan semuanya bisa dicoba.
Permasalahannya adalah, ternyata kebanyakan pendaki pemula adalah pendaki yang memiliki mental turis. Apa maksudnya? Mental turis adalah mental pengunjung yang tidak peduli dengan lokasi yang ia kunjungi dan yang paling penting adalah bagaimana si turis mendapatkan kesenangan sebesar-besarnya. Tidak peduli jika situasi lokasi tidak mendukung ataupun memang tidak memperkenankan si turis untuk melewati wilayah-wilayah tertentu. Turis yang seperti ini biasanya cenderung merusak lokasi ketimbang turut ikut melestarikannya. Jenis yang seharusnya banyak dihindari destinasi-destinasi alamiah seperti gunung ataupun laut.
Mengapa turis jenis ini ada, alasannya adalah karena mereka merasa telah membayar dan mengeluarkan biaya masuk lokasi. “Suka-suka gue” kira-kira seperti itu. Masalahnya, perilaku mereka akan menimbulkan masalah baru seperti kerusakan destinasi ataupun terancamnya keselamatan.
Niatan Awal
Lalu bagaimana dengan saya? Saya untuk pertama kalinya pada 23 Juni hingga 26 Juni yang lalu mendaki gunung. Motivasi sebenarnya dari pendakian agak nyeleneh ini adalah saya ingin mencari tempat untuk menyendiri dan sedikit lari dari permasalahan yang saya hadapi. Bahkan sempat terbersit untuk melakukan tindakan nekad di atas sana. Tapi saya berusaha meluruskan niat bahwa pendakian saya yang pertama ini akan menjadi pelajaran penting yang bisa saya ambil untuk bekal kehidupan. Dan akhirnya bisa pulang dengan selamat tanpa ada berita tragedi.
Pelajaran apa yang saya inginkan? Saya ingin merasakan bagaimana bertahan hidup di situasi yang ekstrim. Cuaca yang tidak menentu, berusaha mandiri tanpa bantuan orang lain, memahami situasi, mengambil keputusan secara cepat dan juga bagaimana menjadi bagian dari sebuah tim untuk bertahan hidup dan tetap mampu mencapai tujuan.
Tapi tentu alasan itu kemudian memunculkan pertanyaan baru, kenapa baru sekarang? Diusia yang mungkin tidak lagi muda. Apalagi tim yang dipilih adalah tim yang sama sekali belum saya kenal (saya mengikuti open trip yang mayoritas pesertanya berusia 20an awal). Jawabannya tentu saja, kapan lagi kalau bukan sekarang.
Bagi saya, usia hanyalah angka sebab segalanya bagi saya bisa dipelajari dan ditekuni. Usia tua tidak ingin menghalangi saya dari batasan-batasan yang bisa saya raih. Pun usia yang saya miliki untuk mendaki gunung pertama kali masihlah realistis karena masih ada orang lain yang lebih senior dari saya yang memutuskan untuk mendaki gunung pertama kali di usia senja.
Jawaban tentang usia pun terjawab, kemudian pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Gunung Semeru? Gunung tertinggi di Pulau Jawa dan bukan gunung-gunung lain yang lebih rendah. Sejujurnya tentang Gunung Semeru saya sudah mengetahuinya sejak masa SMA, yang ternyata gunung ini meski sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa, tingkat kesulitannya relatif mudah. Saya mengetahui ini sejak saat saya masih aktif di pecinta alam Misa Bhawana Cita di SMA Negeri 1 Malang.
Ada beberapa alasan menurut saya mengapa Gunung Semeru berkategori mudah. Pertama, gunung ini sangat populer. Hampir semua pendaki di jawa berusaha untuk bisa mendaki gunung tertinggi. Tentu saja gunung itu adalah Gunung Semeru, sehingga banyaknya pendaki membuat berbagai pengalaman pendakian di Gunung Semeru menjadi pelajaran bagi banyak orang. Bahkan di kalangan pecinta alam, Gunung Semeru sepertinya tetap tidak dimasukkan dalam hitungan ketinggian yang harus dicapai oleh anggotanya karena dianggap gunung wisata.
Kedua, Gunung Semeru berada di taman nasional. Karena Gunung Semeru berada di taman nasional, pemeliharaan infrastruktur dan jalur-jalurnya sangat diperhatikan oleh pengelola. Sebab jika lapangan dan pendaki tidak dikendalikan bisa-bisa taman nasional akan rusak. Statusnya sebagai tamna nasional pun juga memberikan keuntungan bagi aspek keselamatan karena semakin banyak tenaga search and rescue (SAR) maupun first responder lain seperti polisi hutan yang siap siaga.
Ketiga, Gunung Semeru memiliki bentuk gunung yang relatif landai. Bentuknya yang berupa perisai membuat pendakian Gunung Semeru hanya memiliki resiko dari aspek cuaca dan kewaspadaan pendaki. Sebab jalurnya tidak memiliki jurang yang ekstrim ataupun membutuhkan alat khusus untuk didaki.
Alasan-alasan di atas bukan berarti Gunung Semeru tanpa resiko. Bahkan gunung ini memiliki resiko yang tidak kalah serius dibanding gunung lainnya. Resiko yang ditimbulkan oleh gunung tinggi antara lain adalah tentang hipotermia, kelelahan, dan juga resiko keramaian yang bisa menyebabkan longsor batu saat upaya memuncak. Semua itu adalah resiko yang harus diperhatikan jika ingin selamat mendaki Gunung Semeru.
Dengan memperhatikan beberapa hal itu saya kemudian berani untuk mengambil peluang open trip yang muncul dalam grup Facebook Komunitas Pendaki Gunung yang saya ikuti. Keputusan untuk mengikuti perjalanan ini pun sebenarnya spontan karena murni keinginan untuk bisa mendaki gunung untuk pertama kalinya. Tim pun terbentuk dan rencana pendakian telah ditentukan.
Persiapan-persiapan
Saya kemudian mulai mempersiapkan diri, dimulai dari persiapan fisik. Persiapan fisik yang saya lakukan tidak terlalu maksimal sebenarnya, karena dari rentang waktu satu bulan saya hanya melakukan jogging sebanyak tiga kali itupun dengan waktu yang relatif singkat rata-rata hanya 30 menit. Tapi saya merasa cukup fit karena sejak awal tahun saya mulai berenang dan itu cukup membantu mengembangkan kapasitas paru-paru seseorang yang sudah hampir lima tahun lebih menghabiskan hidup tanpa olahraga (masa mahasiswa).
Persiapan lainnya adalah perlengkapan. Persiapan terkait dengan perlengkapan saya upayakan untuk bisa menopang kehidupan saya sendiri disituasi apapun. Mulai dari logistik makanan, hingga perlengkapan memasak dan perjalanan saya miliki sendiri meski saya berjalan bersama tim. Satu-satunya yang minus tidak saya siapkan adalah tenda, karena anggota tim lain sudah membawanya cukup untuk seluruh anggota. Tentu jika saya membawa sendiri akan sia-sia.
Persiapan berikutnya adalah terkait dengan surat izin masuk kawasan konservasi atau lebih sering disebut dengan simaksi karena Gunung Semeru termasuk dalam taman nasional yang dilindungi segala ragam hayatinya. Surat izin adalah salah satu yang krusial untuk menjamin adanya pengawasan dari pengelola kawasan. Selain akan menguntungkan pendaki jika terjadi musibah, surat izin juga akan mengawasi gerak gerik pendaki agar tetap sesuai dengan peraturan.
Menariknya, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah salah satu taman nasional yang memberlakukan pendaftaran simaksi secara daring sehingga kuota pendaki yang masuk sangat diawasi. Jadi untuk musim-musim tertentu, bagi yang ingin mendaki ke Gunung Semeru harus sudah melakukan pemesanan jauh-jauh hari agar bisa masuk ke kawasan taman nasional.
Hari Pertama
Persiapan fisik, perlengkapan dan perizinan pun lengkap. Perjalanan saya dimulai pada hari Sabtu 23 Juni 2018 untuk bertemu dengan tim yang mayoritas berasal dari Magelang dan sekitarnya. Mereka adalah anak-anak muda yang sudah beberapa kali mendaki gunung. Dan saya adalah pemula, benar-benar pemula yang baru pertama kali. Tentu saya harus mengikuti arahan tim untuk bisa menjadi bagian yang tidak membebani perjalanan nantinya.
Pertemuan pertama kali saya dengan tim adalah di Stasiun Kota Malang. Dari stasiun ini kemudian langsung menuju pasar tumpang di Kabupaten Malang untuk mencari kendaraan menuju pos pintu masuk pendakian Gunung Semeru di Ranupani, Lumajang. Kendaraan yang digunakan untuk menuju ke Ranupani umumnya adalah Land Cruiser Toyota penggerak empat roda yang sering disebut dengan hardtop. Kendaraan ini pula yang banyak ditemukan di kawasan wisata Gunung Bromo. Umumnya, tarif yang diminta oleh para pengemudi adalah tarif naik turun. Naik menuju Ranupani dan ketika pendaki turun kembali dari Ranupani ke pasar tumpang.
Bagi pendaki yang tidak berbelanja logistik untuk pendakian, pasar tumpang adalah lokasi terakhir yang bisa dimanfaatkan untuk membeli segala keperluan. Logistik adalah hal krusial yang perlu diperhitungkan saat pendakian. Jika pendaki sudah berada di hardtop dan menuju Ranupani, tidak ada lagi pasar yang tersedia berbagai macam keperluan pendakian.
Untuk saya walaupun merupakan warga Malang, saya belum pernah sekalipun merasakan bagaimana suasana Ranupani. Titik terjauh yang pernah saya capai adalah daerah Poncokusumo, Tumpang di Kabupaten Malang. Ranupani ternyata adalah desa perkebunan kecil yang menjadi pintu gerbang pendakian Gunung Semeru dari arah Barat Daya. Di Ranupani ini terdapat danau dan pos pemeriksaan izin masuk kawasan. Segala persiapan dilakukan di Ranupani mulai dari briefing dari pihak taman nasional hingga pengecekan barang bawaan.
Taman nasional adalah kawasan yang cukup ketat menjaga barang-barang yang masuk maupun keluar. Siapapun tidak diperkenankan untuk membawa barang yang bisa merusak taman nasional, maupun membawa barang-barang dari dalam taman nasional keluar dari kawasan. Itu sebabnya, sekadar membawa bunga atau tanaman dari taman nasional tanpa izin bisa mendapat sanksi berat.
Kami satu tim mencapai Ranupani sekitar ashar, di pos persiapan tersedia toilet dan mushola serta pendopo untuk beristirahat. Sayangnya, sore itu kami datang terlampau sore sehingga hujan mulai turun dan kami memutuskan untuk menunda keberangkatan hingga hujan reda.
Hujan reda sekitar magrib, dan langit mulai meredup. Setelah semua persiapan selesai, kami memulai pendakian. Titik pertama adalah pintu gerbang selamat datang pendaki yang berdiri tidak jauh dari pos pendakian. Mulai dari titik ini perjuangan dimulai untuk menuju tujuan pertama yakni lahan perkemahan Ranukumbolo.
Kami harus berhadapan dengan jalur daki yang berlumpur akibat air hujan. Situasi yang mulai gelap membuat pendakian cukup beresiko dan lampu kepala mulai beraksi.
Lampu kepala ternyata sangat dibutuhkan disituasi seperti ini. Saat tangan lebih konsentrasi untuk memanggul carrier ataupun tongkat jalan, penerangan tidak bisa maksimal jika dipegang menggunakan tangan. Jadi lampu kepala rasanya harus tersedia jika pendaki melakukan perjalanan malam hari.
Saran dari seorang sahabat yang ternyata saya abaikan terkait lampu kepala ini adalah, saya tidak memperhitungkan penerangan yang mampu menembus kabut. Padahal pendakian saya sempat diselimuti kabut cukup tebal dan membuat jalur sulit untuk dilihat. Jarak pandang terbatas dan jalan berlumpur, sangat beresiko untuk tergelincir. Sehingga sepatu trek juga memainkan peran penting.
Ada beberapa pos yang dilalui saat mendaki dari titik awal keberangkatan hingga Ranukumbolo. Namun karena pendakian kami lakukan malam hari, tidak banyak pos yang buka. Pos tersebut umumnya ditempati oleh pedagang lokal yang menjajakan makanan-makanan ringan seperti buah ataupun gorengan untuk mengisi perut. Keberadaan mereka cukup membantu pendaki yang memang perlu asupan energi untuk melanjutkan perjalanan.
Selama perjalanan menuju Ranukumbolo saya merasa cukup tenang karena langit terlihat cerah beberapa kali. Meski bulan bersinar cukup terang, saya masih bisa melihat bintang-bintang yang menemani. Sedikit membuat mellow karena saya rindu seseorang yang senang mengajak saya memandang bintang.
Tapi memang cuaca cerah tidak berlangsung lama, beberapa kali awan menutup langit dan mulai mengirimkan air hujan. Tidak deras memang, tapi cukup membuat dinginnya malam semakin menusuk. Bahkan menjelang memasuki area danau Ranukumbolo kabut begitu tebal hingga membuat kami kebingungan untuk menemukan jalur menuju perkemahan.
Kami mencapai Ranukumbolo sekitar tengah malam, dan mulai membangun tenda dalam keadaan kabut yang tebal. Seluruh tas basah dan kami seakan dikejar waktu untuk bisa mendirikan tenda sesegera mungkin. Situasi diperparah dengan adanya isu berkeliarannya macan di sekitar Ranukumbolo malam itu. Untungnya tim sigap dan kami bisa beristirahat.
Bagi saya, mendirikan tenda adalah kemampuan yang belum saya miliki. Mengingat saya belum pernah mendaki sebelumnya dan tidak pernah memilik sebuah tenda untuk berlatih sendiri. Hal ini yang kemudian membuat saya kurang bisa banyak membantu saat proses pendirian tenda bersama tim. Saya lebih banyak mengamati dan memerhatikan bagaimana membangun tenda yang baik. Semoga saja dikesempatan pendakian selanjutnya saya bisa mulai membangun tenda sendiri.
Hari Kedua
Memasuki hari kedua pendakian. Ranukumbolo mengirimkan iklim dinginnya pada seluruh pendaki yang berkemah di sana. Saya yang tidak begitu siap dengan dingin yang jauh berbeda dengan kota malang, cukup kaget dan sempat mengalami flu. Untungnya perbekalan obat dan vitamin cukup membantu saya untuk pulih. Flu adalah salah satu kekhawatiran saya saat mendaki sebab penyakit ini sering kali menghabiskan energi saya hingga saya tidak berdaya. Solusi yang biasa saya tempuh untuk pulih dari flu adalah dengan banyak makan dan istirahat, tetapi disituasi pendakian dua hal tersebut jelas mustahil dilakukan.
Pagi itu, Ranukumbolo begitu cerah, memperlihatkan air danau yang jernih dan tenang. Ternyata seperti inilah keindahan danau yang paling populer di pendakian Gunung Semeru. Di tepi danau itu kami kemudian memasak sarapan dan bersiap untuk perjalanan selanjutnya.
Angkat kaki dari Ranukumbolo menuju destinasi selanjutnya, Kalimati sekitar pukul 10 saat matahari sudah cukup menyengat dan sudah mulai mengeringkan beberapa alat dan perlengkapan yang kami bawa. Perjalanan cukup berat karena seluruh trek cenderung menanjak dan berada di bawah sengatan matahari. Tanjakan cinta yang cukup curam, oro-oro ombo padang savana yang terik, kemudian memasuki cemoro kandang yang berangin kencang.
Salah seorang anggota tim yang ternyata kelelahan sejak hari pertama mulai kesulitan mengikuti ritme anggota lainnya. Perjalanan menjadi cukup lama. Hingga akhirnya anggota tim terkuat memutuskan untuk memanggul dua carrier dan berjalan lebih awal bersama empat anggota lainnya. Sementara saya bersama dua lainnya berada di belakang. Kami bertiga bisa dibilang adalah simpul terlemah dari tim ini. Tapi saya merasa dipercaya oleh anggota terkuat untuk bisa membawa dua anggota lain untuk menyelesaikan trek menuju perkemahan Kalimati.
Misi pun sukses, saya menghitung waktu sejak tim terpecah perjalanan yang ditempuh membutuhkan waktu 1,5 jam dari titik tengah Cemorokandang. Padahal waktu selama itu adalah waktu normal perjalanan jika pendaki berjalan dalam kondisi normal. Dan saat itu kami mencapai Kalimati sekitar pukul 16. Waktu yang lebih lama untuk mencapai Kalimati tidak dapat diterima karena malam harinya kami harus memulai summit attempt. Sehingga kami harus segera beristirahat dan beristirahat.
Mulanya, ada rencana untuk beberapa anggota tim tinggal di tenda saat anggota lainnya melakukan summit attempt. Tetapi rencana tersebut akhirnya tidak dilakukan dan kami semua memutuskan untuk melakukan pemuncakan malam itu juga. Kami semua berangkat pukul 23.30 menuju puncak semeru.
Hari Ketiga
Langit dalam keadaan cerah meski sedikit berawan. Saya bisa melihat banyak sekali bintang malam itu, ingin sekali rasanya memotretnya tapi saat ini bukan itu prioritas saya. Prioritas saya adalah bisa mencapai puncak dengan selamat. Sehingga saya tidak banyak mengeluarkan kamera selama perjalanan.
Melalui vegetasi akhir sebelum mencapai lereng Gunung Semeru saya menyaksikan bagaimana sebuah hutan tua menunjukkan personanya. Pohon-pohon pinus tua dengan akar-akarnya yang menjalar kuat mencengkram lereng. Kami harus melalui semua itu dalam kegelapan dengan bermodal lampu kepala dan perbekalan secukupnya. Untungnya, upaya memuncak ini tidak memerlukan bawaan yang berat sehingga pendaki bisa fokus pada mengatur strategi mendaki menuju puncak.
Langit selama berada di lereng hutan begitu cerah. Saya merasa bahagia malam itu, banyak sekali bintang yang menemani meski saya tidak berhasil melihat galaksi Bima Sakti dengan mata telanjang. Perjalanan malam itu serasa ditemani oleh mereka yang menunggu di rumah, mendoakan dalam cemas dan berharap kabar gembira.
Mimpi buruk pun dimulai saat perjalanan melewati batas vegetasi terakhir. Perbatasan antara hutan dengan lereng Gunung Semeru yang berpasir. Saya tidak menyangka bahwa jalur pendakian akan begitu berat karena pasir tempat berpijak tidak padat. Ketika melangkah, kita akan meluncur ke bawah karena pasir meluncur turun. Pendakian menjadi begitu berat, memakan waktu dan menguras tenaga karena hal ini. Ibaratnya pendaki melangkah dua langkah ke depan, akan turun satu langkah ke belakang. Begitu seterusnya hingga pada titik bebatuan di sekitar 400 meter akhir menuju puncak Mahameru.
Selain medan yang menguras tenaga, faktor lain yang membuat upaya memuncak ini berbahaya adalah iklim dan bebatuan. Iklim malam itu sebagaimana sudah sering dibahas saat menuju Ranupani, cuaca sedang sering mendung dan hujan. Meski saat berada di hutan kami mendapati langit yang cerah, semua itu berubah ketika kami mulai berada di pertengahan Gunung Semeru, menjelang Subuh cuaca tidak menentu dan mulai berkabut. Tidak lama kemudian hujan pun turun. Saya sedikit panik karena tidak siap dengan jas hujan kala itu. Hal yang terpikirkan yang bisa saya selamatkan adalah kamera dan perbekalan yang saya bawa dengan tas kecil. Saya membungkusnya dengan kantong plastik sembari terus mendaki ke atas.
Tidak terhitung berapa kali saya harus berhenti sejenak untuk duduk beristirahat. Medan daki yang begitu melelahkan, dan membuat semua energi terkuras. Bekal yang saya bawa menipis dan air semakin terkuras. Saya mulai berusaha untuk mengatur konsumsi seefektif mungkin agar tidak sia-sia. Sebotol air, sepuluh butir kurma, empat sachet Gazero dan sebungkus roti menemani saya menuju puncak. Semuanya dengan bergantian saya konsumsi sembari beristirahat.
Saya mulanya berusaha untuk mengejar puncak saat matahari terbit. Namun saya terlambat, fajar mulai menyingsing di ufuk timur ketika saya masih berjarak sekitar 30 menit dari puncak. Pun saat itu, angin masih berembus begitu kencang membuat tubuh kehilangan panas dengan cepat. Saya kerap merasa mengantuk dan saat beristirahat godaan untuk tidur begitu kuat. Namun saya berusaha bertahan untuk tidak tertidur meski sebentar karena saya khawatir akan mengalami hipotermia jika saya tertidur.
Meski berusaha kuat, tentu saja terantuk tetap tidak terhindarkan. Selama terantuk itu, saya beberapa kali merasa mengigau karena bermimpi bertemu dia. Untungnya, saya tidak sampai terperosok karena igauan itu dan malah terbangun. Sebab jika terperosok saya tidak yakin akan seperti apa nasib saya.
Warna jingga terbitnya fajar mulai terlihat saat saya beristirahat dibalik sebuah batu besar. Saya berusaha untuk berlindung dari terpaan angin badai yang sedikit membawa air. Badai itu memang cepat berlalu, sebentar saja saya bisa melihat langit yang begitu jernih namun angin segera kembali membawa awan hujan menutupi sinar matahari yang baru terbangun dari malam.
Bendera merah putih mulai terlihat, itu artinya puncak Mahameru sudah di depan mata. Meski begitu untuk mencapainya masih harus melalui medan yang sulit. Memang pasir tidak lagi licin, tetapi bebatuan yang keras membuat lutut yang sudah lemah terasa begitu sakit untuk mendaki. Menahan nyeri tentu saja menguras begitu banyak tenaga. Saya sempat berpikir apakah lutut saya bisa bertahan jika saya memaksakan untuk bisa mencapai puncak. Bertahan dalam artian, apakah saya akan lumpuh jika memaksakan diri.
Tapi saya tidak terlalu risau, hal terpenting saat itu adalah saya bisa mencapai puncak. Saya cukup yakin bahwa pencapaian ini tidak akan bisa tercapai tanpa ada izin dariNya. Saya diperbolehkan untuk menjalani perjalanan beresiko ini dan bertemu orang-orang baru serta mencapai puncak yang awalnya saya tidak targetkan. Semuanya hanya bisa terjadi jika saya diizinkan olehNya. Pun di puncak saya berencana untuk mengaji dengan Quran mini yang saya bawa.
Matahari mulai terasa terik, saya masih berusaha untuk mencapai puncak dengan lebih banyak berlindung di balik batu-batu besar. Panasnya matahari ternyata cukup membantu saya untuk tidak lagi fokus pada dinginnya angin sehingga bisa mulai fokus pada menahan rasa nyeri di bagian lutut untuk terus menanjak naik.
Saya tidak begitu yakin pukul berapa saya bisa meraih bendera Merah Putih di puncak Mahameru. Berdasarkan meta data foto yang saya miliki, foto tersebut diambil sekitar pukul 6 pagi. Saat itu saya tidak banyak berharap apa-apa kecuali bisa menemukan rekan satu tim lainnya. Saya yang kedinginan dan mulai menggigil pun menjadi lupa bahwa saya ada keinginan untuk mengaji di atas sana. Untuk sholat subuh pun saya rasanya tidak mampu. Saya lebih fokus menemukan rekan satu tim yang ternyata saya memuncak di urutan kedua diantara delapan orang anggota tim. Pencapaian gila untuk seorang pendaki pemula.
Lucunya, rekan saya yang saya anggap terkuat dalam tim membawa sebuah kelapa hijau di puncak yang memang rencananya akan dibagi-bagikan di puncak. Meminum kepala itu dan memakan sedikit degan, membuat saya sedikit bisa bertahan di tengah terpaan angin yang menderu. Puncak tertinggi Pulau Jawa, apa yang saya harapkan? Adanya pohon dan bangunan berlindung dari angin?
Saya yang kedinginan kemudian hanya bertahan sekitar satu jam dipuncak. Karena saya mengerti bahwa rekan lainnya masih harus menunggu di puncak hingga semua anggota tim lengkap. Namun saya tidak lagi mampu dan memutuskan untuk turun dari puncak dan merelakan sesi foto bersama di puncak. Berat memang, tetapi ini adalah hal yang paling realistis yang bisa saya raih karena saya juga harus memahami batas kemampuan diri tanpa harus membuat rekan lainnya kerepotan.
Perjalanan turun Gunung Semeru tentu menjadi hal yang paling unik. Jika saat mendaki pasir begitu licin, saat turun semua pendaki bisa merasakan bagaimana meluncur menuruni lereng gunung. Tidak ada kesulitan berarti karena jalur turun tidak banyak terdapat batu yang mengancam. Hanya saja kondisi lutut yang kelelahan tetap saja membuat proses turun begitu menyakitkan.
Saya berhasil mencapai perkemahan Kalimati sekitar pukul 9 pagi dan berhenti sejenak mengobrol dengan penjual lokal. Sembari mengistirahatkan lutut saya berbincang tentang Gunung Semeru. Saya mendapati bahwa ternyata pagi itu memang sedang ada ritual untuk memberi keselamatan yang dilakukan oleh para penjaga gunung yakni para Suku Tengger. Bapaknya sendiri mengungkapkan bahwa Gunung Semeru masih sering memakan korban sehingga ritual rutin dilakukan. Selain itu saya juga mendapat informasi bahwa kuota pendakian di musim-musim tertentu akan dibuka lebih banyak. Seperti pada saat momen 17 Agustus ataupun saat momen tahun baru.
Usai berbincang, saya buang air besar, itu adalah buang air besar terjorok yang pernah saya lakukan. Selain kuantitasnya yang besar, saya juga harus melakukannya dengan situasi yang tidak nyaman karena berada di balik semak-semak. Tapi buang air besar menurut saya adalah hal penting yang harus diperhitungkan saat mendaki gunung karena akan mempengaruhi performa saat mendaki apalagi ketika membawa beban berat.
Mengosongkan isi perut dan kemudian beristirahat di tenda. Saya baru menyadari bahwa tenda kami ternyata disiram air hujan selama kami memuncak. Banyak perlengkapan kami yang basah, tapi saya tidak begitu peduli. Saya memutuskan untuk tidur di dalam tenda.
Sekitar satu jam kemudian, rekan tim lain mulai berdatangan. Namun rekan yang paling belakang tidak jua terlihat. Sekitar dua jam kemudian saya istirahat mereka belum juga sampai tenda. Rekan mulai mengeluh macam-macam tetapi beberapa menit kemudian mereka mulai terlihat.
Menurut saya, memuncaki Gunung Semeru di siang hari sebenarnya adalah hal yang paling aman. Tetapi kabarnya hal itu jarang dilakukan karena dikhawatirkan adanya gas beracun yang berembus di puncak Mahameru. Kabarnya memang gunung yang masih aktif ini sering mengeluarkan gas beracun dikala siang meskipun puncak Mahameru agak berjauhan dari kawah aktif Jonggring Saloka. Gas beracun inilah yang juga kabarnya menewaskan aktivis UI era 60an, Soe Hok Gie di puncak Mahameru.
Saat seluruh tim telah lengkap berada di tenda Kalimati, kami semua mulai mempersiapkan perjalanan turun. Agenda selanjutnya adalah makan siang dan menuju Ranukumbolo kembali. Makan siang menjadi momen foya-foya karena logistik kami cukup berlebih. Tetapi masalahnya, air untuk bekal menuju Ranukumbolo habis usai makan-makan itu. Sehingga kami harus mengambil air di sumber terdekat Kalimati yakni Sumber Mani.
Jarak Kalimati dengan Sumber Mani cukup memakan waktu, sekitar satu jam pulang pergi. Namun air yang tersedia cukup melimpah sehingga pendaki bisa membawa penampung air sebanyak mungkin. Bahkan jika berkenan pendaki bisa bersih diri di sana.
Usai mengambil air, kami mulai beranjak turun di sore hari. Cuaca kabut sepanjang perjalanan dan cenderung hujan. Kami semua basah kuyub hingga mencapai Ranukumbolo. Saat membangun tenda pun butiran air masih membasahi sehingga kami harus segera membangun tenda untuk menghindari kedinginan. Usai magrib, tenda berhasil didirikan dan beberapa dari kami beristirahat sebelum akhirnya bersiap untuk makan malam.
Makan malam terakhir di Gunung Semeru, ada banyak hal yang saya renungi. Banyak hal yang saya sadari yang kemudian malah membuat saya muram. Salah satunya adalah tentang relasi yang meski saya bisa dengan adaptif bergabung dengan rekan-rekan lainnya, pada akhirnya saya tetaplah orang yang berdiri sendiri di antara mereka. Orang asing yang mungkin hanya sekadar dihormati karena lebih tua. Saya tersenyum saja melihat tingkah mereka yang begitu akrab dengan temannya masing-masing.
Malam itu saya lebih banyak makan untuk menghabiskan jatah anak-anak yang lain. Saya hanya tidak rela jika makanan dibuang begitu saja di saat berada di situasi sulit seperti di gunung. Sebagaimana saya diajarkan saat diklat masa SMA, tidak boleh ada makanan yang tersisa. Karena semuanya harus bermanfaat di situasi bertahan hidup.
Usai makan malam, kami semua bisa beristirahat maksmial sebelum esok hari harus melanjutkan perjalanan menuju Ranupani. Perjalanan terakhir meninggalkan Gunung Semeru.
Hari Keempat
Ranukumbolo di hari terakhir kami, agak terlihat berbeda. Lebih gloomy akibat kabut yang tidak beranjak dari peraduannya. Pemandangan menjadi datar dan foto tidak cukup baik karena langit berwarna putih terang. Sesi sarapan masih sama seperti sebelumnya, makanan berlebih dan saya lagi-lagi harus makan dengan porsi besar. Saya hanya khawatir ini akan mempengaruhi kesehatan perut alias mengakibatkan saya sakit perut ingin buang air saat perjalanan.
Untungnya itu tidak terjadi selama perjalanan turun meski buang angin sepanjang jalan terjadi. Ya itung-itung aroma perjalanan buat satu tim. Hehe.
Perjalanan keluar dari kawasan Gunung Semeru jauh lebih mudah karena dilakukan siang hari. Semua jalur yang terlihat gelap di hari pertama tampak jelas terlihat. Kecepatan jalan kami juga cukup tinggi karena kami harus mengejar pengemudi hardtop yang hanya bisa mengantar sebelum matahari terbenam. Mengingat jalan turun dari Ranupani adalah jalan curam dengan jurang.
Semua akhirnya berakhir sekitar pukul 15 di Ranupani dengan cuaca cerah. Semua tim cukup tepat waktu berada di pos akhir dan tidak lama setelah saya buang air besar kami semua beranjak ke kendaraan untuk menuju Malang. Stamina saya sudah habis dan lebih banyak tidur diperjalanan. Semua tampak gembira karena mereka semua sudah berhasil memuncaki Gunung Semeru untuk pertama kalinya.
Sampai di pasar tumpang mereka semua bersih diri sementara saya langsung menuju rumah menggunakan ojek. Semua interaksi berakhir di sana dan pesan-pesan singkat mulai masuk ke ponsel masing-masing. Saya mengabari ibu dan juga mengabari sahabat-sahabat bahwa saya baik-baik saja.
Perenungan-perenungan
Rumah tampak sepi sore itu, saya datang dan mulai bebersih diri kemudian membongkar-bongkar bawaan sembari beristirahat. Emosi cukup campur aduk antara harus kembali ke realita kehidupan dan juga merasa lega dan bangga sudah mencapai sesuatu yang luar biasa menurut saya.
Mungkinkah semua yang telah saya lalui hanya sebatas pelarian? Ataukah semua pengalaman berharga itu bisa menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan saya di masa mendatang.
Pendakian ini terlalu banyak pelajaran yang saya petik dan tentu saja menjadi sebuah titik baru dalam hidup saya. Tentang sebuah harapan, tentang perjuangan dan juga tentang bagaimana berada dalam sebuah tim dengan orang-orang asing.
Semuanya saya dapatkan tentu saja dengan seizinNya. Di tengah semua kemustahilan yang saya alami tentu saja apa yang saya capai adalah hal yang terbilang luar biasa. Terima kasih.

Komentar